Kasus Dini Fitria: Antara Tegas Menegakkan Disiplin dan Tuduhan Kekerasan
Banten – Kasus penonaktifan Dini Fitria, Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, setelah menampar seorang siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah, kini menjadi perdebatan publik yang luas. Keputusan Gubernur Banten Andra Soni untuk menonaktifkan sang kepala sekolah menuai pro dan kontra, terutama di kalangan pendidik dan organisasi profesi guru yang menilai kebijakan tersebut kurang mempertimbangkan konteks edukatif dan pentingnya penegakan disiplin di sekolah.
Ketua Umum Forum Guru dan Penulis Cendekia (Forgupena), Adhan Chaniago, menyampaikan bahwa tindakan Ibu Dini Fitria harus dilihat dalam konteks penegakan aturan, bukan kekerasan. “Kepala sekolah bertanggung jawab penuh atas kawasan tanpa rokok di sekolah. Ketika siswa melanggar, kepala sekolah wajib menindak tegas sesuai aturan,” ujarnya.
Adhan merujuk pada Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah yang menegaskan bahwa kepala sekolah wajib menjaga lingkungan sekolah bebas asap rokok. Selain itu, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga menyebutkan tempat belajar mengajar sebagai kawasan tanpa rokok. Dengan dasar hukum tersebut, tindakan Ibu Dini Fitria seharusnya dilihat sebagai bentuk tanggung jawab moral dan profesional, bukan sebagai kekerasan yang disengaja.
Namun, Adhan juga mengakui bahwa tidak ada bentuk kekerasan yang dapat dibenarkan di lingkungan pendidikan. Ia menilai tindakan Ibu Dini merupakan refleksi keputusasaan seorang pendidik yang menyaksikan siswanya melanggar aturan berat dan merusak masa depannya sendiri. “Ini bukan soal tamparan, tetapi tentang ketegasan seorang guru yang ingin menyelamatkan moral anak bangsa,” jelasnya.
Forgupena menyoroti dilema yang dihadapi para pendidik: di satu sisi mereka diwajibkan menegakkan disiplin, sementara di sisi lain berisiko disanksi ketika cara mendisiplinkan dianggap melampaui batas. Ketidakpastian hukum ini, menurut Adhan, membuat guru ragu dalam menjalankan fungsi pembinaan. Ia menegaskan, “Guru kini berada di posisi sulit — antara tanggung jawab moral dan ancaman hukuman administratif.”
Selain persoalan disiplin, kasus ini juga mengungkap krisis pendidikan karakter di rumah tangga. Adhan menilai, pergeseran nilai dalam keluarga membuat banyak orang tua gagal menjadi teladan bagi anak-anaknya. “Dulu, ketika anak berbuat salah, orang tua datang ke sekolah dengan sikap kooperatif. Sekarang, sebagian justru membela anaknya tanpa melihat kesalahan yang dilakukan,” ujarnya.
Ia menegaskan kembali pentingnya kolaborasi antara sekolah dan keluarga. Rumah, katanya, adalah “madrasah pertama” yang menentukan arah pembentukan karakter anak. “Ketika pendidikan karakter di rumah gagal, jangan harap sekolah bisa memperbaikinya sendirian,” kata Adhan menegaskan.
Forgupena juga menilai kebijakan Gubernur Banten yang menonaktifkan Dini Fitria sebagai langkah yang kurang bijak dan kontraproduktif terhadap semangat pembinaan guru. Kebijakan tersebut, menurutnya, mengirimkan pesan yang salah: pelanggaran siswa dapat ditoleransi, sementara guru yang menegakkan aturan justru dihukum. Hal ini dapat menimbulkan efek domino yang berbahaya terhadap moralitas pendidikan di Banten.
Dalam konteks yang lebih luas, muncul pertanyaan mendasar:
Apakah Gubernur Andra Soni menyadari implikasi jangka panjang dari kebijakannya yang populis ini terhadap masa depan pendidikan di Banten?
Guru-guru kini akan berpikir berkali-kali sebelum menegur siswa yang melanggar aturan. Ketakutan akan sanksi membuat mereka cenderung permisif, membiarkan pelanggaran terjadi tanpa tindakan. Jika ini dibiarkan, maka disiplin sekolah akan runtuh, pendidikan karakter melemah, dan generasi muda tumbuh tanpa arah moral yang jelas.
Forgupena mengusulkan agar pemerintah melakukan langkah restoratif, bukan represif. Mereka mendorong pelatihan manajemen emosi dan disiplin positif bagi pendidik sesuai dengan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Selain itu, program parenting dan kolaborasi sekolah–orang tua juga perlu diperkuat untuk mengembalikan fungsi keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak.
“Alih-alih menghukum guru, pemerintah seharusnya membangun sistem yang melindungi mereka dan mendidik siswa secara berimbang. Jangan biarkan guru kehilangan wibawa hanya karena satu tindakan yang tidak proporsional,” tegas Adhan.
Forgupena juga mendesak agar kasus Dini Fitria ditinjau ulang dengan melibatkan organisasi profesi guru seperti PGRI, IGI, FGII, dan FSGI, untuk memastikan keputusan yang diambil berpihak pada pendidikan yang berkeadilan. “Kita butuh solusi yang memberi efek jera bagi siswa, pembelajaran bagi guru, dan kepastian hukum bagi pendidik,” pungkasnya.
Kasus SMAN 1 Cimarga kini menjadi simbol krisis keseimbangan antara perlindungan hak anak dan wibawa guru. Publik berharap, dari kasus ini, pemerintah bisa mengambil pelajaran penting: bahwa penegakan disiplin dan perlindungan anak harus berjalan beriringan demi masa depan pendidikan yang lebih bermartabat.